Blogroll

Tuesday, August 16, 2011

Tendangan dari Langit, Film Tersulit Hanung Bramantyo


Sebagai sutradara, kualitas Hanung Bramantyo tidak diragukan lagi. Tapi baru pertama kali ini ia menggarap film yang bertema olahraga. Lebih sulit lagi karena film berjudul Tendangan dari Langit ini tidak dibintangi oleh aktor dan aktris yang berpengalaman, tapi oleh seorang remaja Malang bernama Yosie Kristanto yang dipilih berdasarkan hasil audisi.

Selain itu, sutradara yang pernah dua kali meraih penghargaan Sutradara Terbaik dala Festival Film Indonesia ini juga harus mengarahkan sejumlah atlet sepakbola dari tim Persema untuk turut ambil bagian dalam film ini.

Seperti apa suka duka Hanung menyutradarai Tendangan dari Langit? Simak obrolan kami di bawah ini.

Tendangan dari Langit itu bercerita tentang apa?
Ini film tentang Inspirasi. Ini film yang menginspirasi anak muda untuk dapat meraih impiannya dengan kerja keras. Film ini bercerita tentang tokoh utamanya, Wahyu. Dia sangat mencintai bola dan bercita-cita untuk jadi pemain bola. Dia ingin bermain bola dengan Irfan Bachdim, tetapi dia tidak dizinkan bermain bola oleh ayahnya. Bapaknya dulu adalah pemain bola yang patah semangat karena kondisi negara zaman dulu yang tidak men-support pemain bola. Bapaknya takut Wahyu akan kecewa seperti dia dulu. Tetapi kemudian ia diam-diam bermain bola karena dibujuk pamannya sampai akhirnya mendapat kesempatan untuk try out di Persema tempat Irfan Bachdim bernaung. Dan Wahyu pun mencoba menapaki mimpinya untuk menjadi seperti idolanya.

Film ini memang dibuat untuk jadi inspirasi ya?
Iya. Bisa dibilang film ini ada untuk menginspirasi anak muda meraih mimpinya. Mimpinya tidak hanya di dunia bola, tapi apa pun. Spirit dari orang daerah yang dianggap 'kampung', dikotomi itu yang mau saya tunjukkan di film ini, bahwa kamu punya sesuatu untuk ditunjukkan di negeri ini. Kenapa tentang bola, ya karena kita sangat berharap betul dengan sepakbola di Indonesia.

Ide awalnya kan dari Coach Timo (pelatih tim Persema), kemudian siapa yang mengembangkan cerita itu?
Saya dan Fajar Nugroho. Fajar kan orang yang lebih mengenal sepakbola, juga pecinta bola. Saya beri kepercayaan untuk menulis cerita ini. Lalu saya yang mensupervisi, yang memberikan masukan untuk plotnya, dialognya, tentang filosofis-filosofisnya seperti apa. Lalu ada coach Timo, memberikan arahan dari sisi koreografi bola, logika-logika bola seperti apa. Jadi untuk men-direct pemainnya saya, lalu yang men-direct permainan bolanya Coach Timo.

Kenapa Irfan Bachdim yang dipilih sebagai tokoh yang diispirasikan tokoh utama?
Irfan Bachdim buat saya sudah menjadi ikon anak muda dan bola, di mana ini penting untuk menarik minat masyarakat yang dulu tidak percaya pada sepakbola Indonesia. Dengan sosok Irfan Bachdim, mungkin yang lain juga ya, ada Gonzalez, Bambang Pamungkas, kita jadi melihat kembali sepakbola Indonesia dalam sudut pandang yang berbeda.

Kita tidak bisa memungkiri, sebelum AFF sepakbola Indonesia jarang merambah sampai ke anak-anak muda Indonesia, belum menjadi lifestyle bagi anak-anak muda Indonesia. Itu semua karena ketidakpercayaan itu tadi. Nah, pada saat AFF, dimana ada Gonzalez, Irfan Bachdim, Kim, dll, di situ mulai menarik minat remaja-remaja Indonesia datang ke Gelora Bung Karno dan melihat secara dekat. Fenomena itu penting bagi saya dan tentunya bangsa ini, karena bola sudah mendapatkan kepercayaannya kembali.

Nah, film Tendangan dari Langit ini hadir untuk merespon kondisi itu, kondisi masyarakat yang mencintai sepakbola. Di mana kita berharap sepakbola di Indonesia itu bisa menjadi tempat kita berteriak bersama mencintai negeri ini.

Ada kesulitan dalam mengarahkan akting Irfan Bachdim?
Dia saya arahkan sebagai dirinya sendiri, sebagai Irfan Bachdim, seorang pemain bola, bukan di luar itu.

Apa peran Irfan di film ini?
Dia hanya bermain bola, seperti dia biasanya sehari-hari. Dalam bermain bola kan ada tuntutan koreografi bermain bola, dalam hal itu kita menuntut dia untuk ikut dalam koreografi itu. Dia serius, dia benar-benar harus bertanding seolah-olah benar real di lapangan.

Ada banyak pemain di film ini yang bukan aktor. Ada kesulitan kah?
Ya jangan disuruh jadi orang lain, jadi diri dia sendiri aja. Saya rasa semua orang bisa akting asal disuruh jadi diri dia sendiri. Dikembalikan pada diri masing-masing, jangan disuruh jadi orang lain. Bahkan seorang aktor pun kalau disuruh jadi orang lain akan susah.Di sini, Irfan, Kim, saya tidak menyuruh mereka menjadi orang lain, mereka di sini bermain bola seperti mereka bermain bola. Jadi seperti terlihat saya membuat fim dokumentar tentang Persema. Saya tidak akan menyuruh mereka akting berpura-pura yang bukan diri mereka sendiri.

Kenapa memilih Persema sebagai tim yang diidolakan tokoh Wahyu?
Awalnya bukan tentang Persema, hanya saja kebetulan Irfan Bachdim yang sudah menjadi ikon remaja dimiliki oleh tim Persema. Sesederhana itu. Kenapa harus Irfan Bachdim, pertama adalah Irfan Bachdim sudah menjadi ikon remaja. Dan itu penting buat saya, karena ke depan tidak ada tempat untuk anak-anak muda kita meletakkan nasionalisme, kecuali di pertandingan sepakbola. Di pertandingan bola, kita bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan pas, dengan enak, dengan jujur, tanpa ada yang memaksa. Kita bisa memekik Indonesia! Indonesia! Itu pada saat pertandingan bola.

Ketika bola itu dijauhi masyrakat karena tidak berprestasi, itu menjadi momok buat saya, karena itu bola harus kita lindungi. Bola harus kita kembalikan kepada masyarakat dan dicintai masyarakat. Masyarakat itu kan banyak, tetapi media-media seperti televisi, radio, majalah, atau lifestyle selalu membidik ke arah remaja. Anak muda itu menguasai pasar. Dia konsumen paling besar dalam industri fashion, film, dan lain-lainnya. Kalau anak muda sudah tidak mencintai bola, maka ya sudah, bola akan ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia.

Sebelum AFF, masyarakat Indonesia melihat bola atau menonton sepakbola Indonesia itu seperti suatu hal yang kampungan. Tetapi setelah AFF, kita tidak bisa mengingkari kalau remaja mulai memperhatikan bola. Saya sendiri jengkel kenapa setelah ada yang ganteng dalam tim nasional dan berhasil mencetak gol, sepakbola baru mendapat perhatian dari banyak kalangan. Tapi itu faktanya. Oleh karena itu buat saya Irfan Bachdim itu sebagai pancingan untuk mengajak anak-anak muda kembali mendukung, mencintai sepakbola Indonesia.

Yosie Kristanto, pemeran Wahyu, didapat dari hasil audisi. Ada kesulitan dalam mengarahkannya?
Dalam menyeleksi Wahyu saat audisi kemarin, harus dinilai dari dua hal: dia harus bisa akting, dan dia harus bisa bermain bola. Dan dia anak Malang. Ada yang bisa akting, tapi nggak bisa main bola. Ada yang bisa main bola, bisa akting, tapi dia bukan anak Malang. Ada yang bisa main bola, anak Malang, tetapi dia nggak bisa akting. Jadi kita harus mengunggulkan yang mana ini. Itu menjadi perdebatan yang cukup sulit di antara kita, sampai kita akhirnya memilih Yosie Kristanto.

Memang Yosie itu dari segi akting tidak sempurna. Main bola juga tidak sempurna. Kalau anak Malang ya dia memang medok banget Malang-nya. Akhirnya kemudian kita ngambil dia bukan karena dia yang terbaik, tetapi karena dia yang paling pas. Dia masih bisa bisa kita upgrade aktingnya, dia juga masih bisa kita upgrade main bolanya. Tapi yang penting dia membawa spirit Malang. Kalau sudah ngomong langsung ketahuan banget.

Kenapa memilih kota kecil seperti Malang untuk jadi lokasi film?
Justru disitu menariknya, bahwa sebuah kota kecil seperti kota Malang bisa menghasilkan sosok yang bisa menjadi ikon remaja, yaitu Irfan. Kenapa tidak Jakarta, karena buat saya sudah saatnya kota-kota di luar Jakarta menunjukan keunikan sendiri-sendiri. Seperti Jogya, Malang, Bandung, Palembang mungkin dan kota-kota lainnya.

Lalu apa alasan dipilihnya Bromo sebagai salah satu lokasi syuting?
Bromo itu kita pakai sebagai area rumahnya Wahyu. Wahyu itu adalah sosok yang mengidolakan Irfan Bachdim dan dia bercita-cita ingin menjadi pemain profesional. Makanya dia hijrah dari Bromo ke Malang untuk bertemu dengan Irfan Bachdim dan menjadi pemain bola Persema.

Apa kesulitan yang paling dirasakan saat menyutradarai film ini?
Tantangan iya, karena penonton itu selalu memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap film olahraga. Ini film tentang bola, berarti bolanya harus keren, kan. Men-direct bola itu kan tidak hanya men-direct 11x2 orang ya, tetapi juga men-direct penontonnya, ribuan penonton, bagaimana ekspresi mereka saat gol tercipta, bagaimana pada saat pelanggaran, saat tendangan pojok, dapat kartu kuning atau kartu merah, itu kan ekspresi mereka pasti beda-beda. Buat saya itu yang susah! Sementara, kita sangat terbatas sekali, terbatas budget, terbatas waktu, apalagi kita kerjasama dengan tim Persema yang sedang mengikuti liga.

Satu kali pertandingan nggak mungkin ditayangin 90 menit kan, tetapi mungkin hanya sekitar 10 menit. Untuk menciptakan gambar 10 menit itu kita harus syuting tiga hari. Bayangin aja, saya harus menghadirkan 80.000 penonton kan, yang mana itu tidak mungkin. Saya harus melakukan itu dengan direpresentasikan oleh sekitar 2500 penonton. Padahal kalo 2500 penonton cuma berapa persennya tuh, nggak ada 10%-nya. Susahnya di situ.

Sementara harapan penonton kalau membuat film sepakbola itu seperti film 'Goal' kan. Kalau film 'Goal' itu kan budgetnya besar sekali. Apalagi di sini, orang dibayar 50 ribu untuk nonton Persema aja nggak mau. Sekitar 100 ribu maunya. Berapa itu nilainya kalau dikalikan 80.000 penonton? Sekitar 8 milyar, hanya untuk penonton aja, itu wasting banget ya.

Mengingat kisruh di PSSI sekarang, apakah sepakbola nantinya akan menjadi tidak menarik lagi untuk dijadikan tema dalam dunia hiburan?
Saya pikir apa pun yang terjadi nantinya di dunia sepak bola Indonesia, film ini akan tetap eksis. Karena film itu sifatnya menangkap momen. Film ini akan ditonton sebagai sebuah nostalgia. Bisa menjadi monumen, bahwa dulu pernah ada Irfan, Kim, yang pernah besar. Kira-kira begitu. Apalagi kalau ternyata di kemudian hari Irfan bisa memberikan sumbangan-sumbangan berarti di dunia sepakbola, maka film ini juga bisa menjadi doa buat Irfan supaya jangan sampai kalah. Hahaha...

Sepakbola akan tetap menarik menjadi tema di dunia hiburan, karena sepakbola adalah sebuah drama yang tidak bisa diramalkan akhir dan endingnya. Makanya akan tetap menjadi sebuah drama yang menarik.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More